Edukasi

Dua PTS di Jateng Diusulkan Menjadi PTN
Jumat (18/11/2011). 

SEMARANG,  Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) WIlayah VI Jawa Tengah menyebutkan, dua perguruan tinggi swasta di wilayah itu mengusulkan untuk diubah statusnya menjadi perguruan tinggi negeri (PTN).
"Dua PTS yang usul berubah jadi PTN itu adalah Universitas Pancasakti Tegal dan Universitas Tidar Magelang," kata Koordinator Kopertis Wilayah VI Jateng Prof Mustafid di Semarang, Jumat (18/11/2011).
Ia mengakui, usulan kedua PTS itu menjadi PTN sebenarnya sudah dilakukan sekitar dua tahun lalu dan saat ini masih diproses di Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kopertis, kata dia, hanya bertindak sebagai salah satu pihak yang memberikan rekomendasi, selebihnya ditangani langsung oleh pusat, seperti visitasi dan survei ke perguruan tinggi yang bersangkutan.
"Kami hanya menjadi salah satu yang diminta memberikan rekomendasi, kalau kami mempersilakan karena itu hak masyarakat. Usulan kedua PTS itu sekarang sudah di Dikti. Keputusannya seperti apa, itu wewenang Kemendikbud," katanya.
Ia mengatakan, pengusulan PTS menjadi PTN merupakan hak, asalkan sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan, misalnya terkait aset yang dimiliki, sumberdaya manusia (SDM), dan rekomendasi pihak terkait.
Kedua perguruan tinggi itu termasuk universitas yang sudah lama, kata dia, operasionalnya dan kampusnya jelas, sehingga pihaknya bersedia memberikan rekomendasi, soal penilaian itu keputusan pemerintah.
"Uji kelayakan, visitasi, pengecekan, dan sebagainya dilakukan oleh Dikti, tentu dengan kriteria tersendiri. Kami tidak memiliki kewenangan lebih selain mengeluarkan rekomendasi," kata Mustafid.
Senada dengan itu, Sekretaris Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jateng Prof Y. Sutomo mempersilakan jika ada PTS yang ingin menjadi PTN, namun keputusan tetap berada di pemerintah.
"Suatu PTS memang memungkinkan untuk dinegerikan, karena setiap provinsi diharapkan memiliki 1-2 PTN. Kalau di Jateng sudah ada lebih dari dua PTN. Namun, prinsipnya kami mempersilakan," katanya.
Sutomo yang juga mantan Rektor Universitas Stikubank Semarang itu mengakui, di wilayah Barat Jateng selama ini memang belum terdapat PTN, sehingga wajar jika ada usulan mendirikan PTN di kawasan itu.
Sementara itu, pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang Dr. Nugroho mengatakan, pemerintah harus mengapresiasi kemajuan yang dirintis PTS secara baik, salah satunya dengan PTS dinegerikan.
"Tentu tidak semua PTS dinegerikan, sebab swasta tetap bisa melakukan penguatan tersendiri dan menjadi penyeimbang PTN. Pemerintah tentunya harus mendukung perkembangan dan kemajuan di PTS," katanya.



1.500 Program Studi Belum Terakreditasi
Jumat, 22 Oktober 2010

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) lewat asesornya saat ini sedang melakukan proses awal untuk memberi nilai akreditasi pada program studi. Sampai 2010 ini, masih banyak perguruan tinggi maupun program studi yang terakreditasi.

Data BANP-PT mengungkapkan, sampai 2010 ini sudah ada 3.000 perguruan tinggi yang terdaftar, namun baru 78 yang sudah terakreditasi. Sementara untuk program studi, saat ini hanya 2.500 program studi yang telah terakreditasi dan masih tersisa 1.500 program studi yang belum memiliki akreditasi.
Salah satu asesor BAN-PT dari Medan, Saiful Akhyar, mengatakan pemberian nilai tersebut tidaklah sulit asalkan ada buku panduannya. "Yang sulit itu saat menilai ada perbedaan antara data yang ada dan kondisi real di lapangan," ujar Saiful kepada Kompas.com, Jumat (22/10/2010), di Jakarta.
Menjabat sebagai asesor sejak 2005, Saiful mengatakan, ada tujuh standar yang dijadikan penilaian akreditasi oleh BAN-PT, yaitu penilaian berdasarkan standar mahasiswanya, dosen, infrastruktur meliputi sarana dan prasarana, kurikulum, penelitian, pengabdian pada masyarakat, serta prospek kerja alumni.
Asesor lainnya, Harni Koesno, juga berpendapat demikian. Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia ini mengatakan, penilaian untuk akreditasi perguruan tinggi sebetulnya tidak sulit.
"Tidak ada kesulitan menilai Program Studi Kebidanan, misalnya, karena sudah ada buku panduannya. Apalagi, sekarang ini semuanya sudah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), jadi tinggal ikut saja," imbuh Harni.
Harni mengatakan, saat ini saja terdapat 729 Program Studi Kebidanan. Namun, dari jumlah tersebut yang terakreditasi baru 30 persen.
"Sedangkan target BAN-PT pada 2012 kepada kami agar semua Program Studi Kebidanan harus terakreditasi, sehingga sekarang semua program studi ini berlomba-lomba untuk mencapai akreditasi," lanjut Harni.

Kalangan akademis
Kamanto Sunarto, Ketua BAN-PT mengatakan, saat ini sudah ada 1.400 asesor di seluruh Indonesia. Para asesor atau tim penilai tersebut harus berasal dari kalangan ahli di program studi yang bersangkutan seperti mantan rektor atau guru besar, dan doktor.
Menurut dia, saat ini terdapat 400 asesor dengan beban 200 program studi untuk dinilai. Tiap satu program studi dinilai oleh dua asesor. Salah satu anggota majelis BAN-PT, Eduardus Tandelilin, menambahkan, khusus untuk menilai Program Diploma asesor harus bergelar master, sementara untuk menilai Program Sarjana atau Pascasarjana asesor harus bergelar doktor.

PENDIDIKAN GRATIS ?


UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN. 2003

BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34 Ayat (2)

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya

Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar harus gratis, meskipun dalam UU Sisdiknas sendiri terminologi ‘gratis’ tidak dikenal. Karena politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing, pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan tiga tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dan calon presiden dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Tak satu pun para pejabat publik yang harus dipilih oleh rakyat secara langsung yang tidak memanfaatkan tema pendidikan murah dan bahkan pendidikan gratis sekali pun.  Namanya juga janji. Ada yang ketika mereka benar-benar menjadi pejabat publik, kemudian langsung memenuhinya dan juga ada yang tidak peduli sama sekali. Mereka yang memenuhi kemudian memang memiliki political will dan dengan demikian mengalokasikan dana dari APBD mereka untuk menggratiskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar di daerah kekuasaannya. Pada konteks seperti ini, pendidikan gratis bisa berjalan dengan wajar sehingga sekolah masih memiliki cukup sumber daya untuk berkembang dan melakukan inovasi yang memerlukan biaya. Dalam konteks seperti ini sekolah tidak dipasung dengan utopia pendidikan gratis. Dengan demikian ketika pemda sanggup menambahi dana untuk membiayai operasional sekolah maka sekolah masih memiliki ruang untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Sebaliknya, bagi para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya, isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Kelompok pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.
Pada tahun 2009 akan lain skema pendidikan gratisnya. Pemerintah pusat menaikkan jumlah BOS secara signifikan. Tahun 2008 BOS untuk SD hanya Rp 254.000 per siswa per tahun. Tahun 2009 BOS dinaikkan menjadi Rp 397.000 per siswa per tahun untuk SD di kabupaten. Untuk SD di perkotaan BOS tahun 2009 besarnya Rp 400.000. Untuk SMP, BOS tahun 2008 hanya sebesar Rp 354.000 tahun 2009 BOS SMP akan naik menjadi Rp 570.000 per siswa per tahun untuk daerah kabupaten dan Rp 575.000 per siswa per tahun untuk daerah perkotaan. Jumlah kenaikan itu sudah termasuk untuk beli buku murah yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Depdiknas.
Dengan jumlah BOS yang naik itu pemerintah telah menganggarkan Rp 16 triliun  untuk membiayai biaya operasional pendidikan dasar. Karena itu pada tahun 2009 semua pendidikan dasar yang belum berada pada tingkatan mutu layanan berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan untuk biaya operasional. Jika saja BOS dari pemerintah pusat belum mencukupi, maka pemerintah daerah wajib mengompensasi kekurangannya itu.Di sinilah letak komitmen para kepala daerah apakah mereka taat asas pada janji kampanyenya dulu. Semestinya pemerintah daerah bersedia menyediakan alokasi anggaran tambahan untuk menggratiskan siswa dari pungutan biaya operasional paling tidak separuhnya dari besaran BOS yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di daerahnya setelah Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengalami perubahan rumusan alokasi yang memasukkan faktor gaji guru, sesuai dengan uji materi UU Sisdiknas oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah gaji guru dihitung sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda tanpa berbuat apa-apa pun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari APBD-nya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu sebagian besar memang untuk gaji. Alhasil biaya untuk operasional sekolah masih di bawah 20% dari APBD.
           Kalau pemerintah pusat sudah menggelontorkan uang paling tidak Rp 16 triliun, maka komitmen yang sama juga harus muncul dari pemda di seluruh tanah air. Tanpa ada komitmen yang jelas dari pemda untuk menggratiskan pendidikan dasar, mustahil pendidikan gratis akan disertai dengan peningkatan kualitas. Karena itu pemda memang perlu untuk mengalokasikan APBD-nya secara signifikan untuk mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas. Tanpa begitu akan lahir pendidikan gratis tanpa kualitas.
Lihat SMI Semarang Office di peta yang lebih besar